Islam dan Tantangan Ekonomi Global (1) Selasa, 13 Agustus 2002 Tulisan Oleh : Prof. Dr.Didin S. Damanhuri (Kepala Badan Informasi Depnakertrans dan Guru Besar Ekonomi IPB) Globalisasi betapapun merupakan skenario yang harus kita cermati. Ketika itu terjadi, arus barang, manusia dan produk intelektual akan leluasa mengalir dari satu negara ke negara lain, karena hambatan tarif menghilang. Negara-negara industri semakin gampang memasukkan produknya ke negara berkembang, sehingga dominasi negara maju atas dunia perdagangan makin kokoh. Maka globalisasi pun bisa dimaknai sebagai bentuk penjajahan baru, dengan negara-negara selatan tetap sebagai koloni-koloninya. Proses globalisasi diawali dengan berbagai putaran perundingan yang diakhiri dengan Putaran Uruguay, dan ditutup dengan perjanjian Maroko yang menghasilkan terbentuknya Badan Perdagangan Dunia (WTO). Ironisnya, berbagai putaran itu sebenarnya merupakan inisiatif negara-negara selatan. Dimulai dari Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang menghasilkan organisasi Negara-negara Non Blok, kemudian topik persoalannya bergeser dari politik ke ekonomi. Ketika itu dimulai dengan keinginan negara-negara selatan – yang mayoritas Islam -- agar hambatan ekspornya di berbagai negara maju, yang merugikan itu, dibuka. Namun bersamaan dengan Putaran Uruguay, Amerika Serikat mengalami goncangan ekonomi dan menurun perannya dalam perekonomian dunia. Negara adidaya itu mengalami defisit anggaran dan defisit perdagangan sekaligus, sampai senilai US$400 miliar, saat pemerintahan Ronald Reagan. Untuk memulihkan perekonomian sekaligus mengembalikan hegemoni, AS mengambil peran ofensif lewat putaran-putaran perundingan itu, agar kesepakatan yang dihasilkan menguntungkan mereka. Itulah semangat terakhir dari perundingan Maroko sehingga terbentuk WTO. Maka wacana globalisasi bukanlah sebuah makna netral. Ada banyak agenda tersembunyi, yang semuanya berujung pada menempatkan negara berkembang di posisi lemah. . Satu studi yang dilakukan OECD awal tahun 90-an meramalkan, kalau terjadi globalisasi maka yang paling diuntungkan adalah negara industri maju seperti AS, sejumlah negara Eropa dan Jepang, dan yang paling dirugikan adalah negara-negara Afrika. Khusus Indonesia, jika globalisasi berjalan, akan dirugikan pertahunnya sebesar US$1,9 miliar. Lebih repot lagi, Indonesia dan negara berkembang lainnya memiliki lapisan elit yang terdidik di Barat. Mereka sangat percaya pada tesis keunggulan komparatif. Yaitu kalau setiap negara berspesialisasi sesuai dengan keunggulan yang dimilikinya, maka berkutat sajalah dia di situ. Kalau masing-masing negara tadi konsisten, dunia akan diuntungkan secara bersama. Negara berkembang akan menikmati kemakmuran karena ekspor raw materialnya, dan negara maju akan makmur dengan industri yang mengolah bahan mentah tadi. Tesis ini mendominasi pemikiran para elit birokrat pada sisi makronya, lalu didukung oleh para eksekutif di berbagai sektor swasta -- yang didominasi oleh lulusan sekolah MBA di Barat -- di sisi mikro. Mereka secara bersama terpukau oleh tesis bahwa globalisasi adalah janji kemakmuran. Sebenarnya baik-baik saja wacana itu diadopsi. Namun kita juga mesti menyadari, negara-negara maju itu sesungguhnya diam-diam khawatir kalau skenario globalisasi itu berjalan sepenuhnya. Lalu mereka berkreasi, menciptakan proteksi-proteksi terselubung untuk menolak produk negara berkembang, . Misalnya, produk industri kita tidak bisa masuk ke pasar Eropa karena dalam proses produksinya memperkerjakan anak-anak. Kemudian, dengan alasan karena di Indonesia belum ada jaminan pelaksanaan upah minimum, maka harga yang terbentuk menjadi tidak fair, dan karena itu berhak untuk ditolak. Sayangnya kita seperti tidak menyadari hal ini. Bukan saja kita tidak bersiap-siap – misalnya meningkatkan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia – untuk menghadapi globalisasi itu, kita juga tidak dengan cerdas menolak wacana globalisasi ini. Sebenarnya kita masih mungkin bermanuver dalam era perdagangan bebas, untuk melindungi rakyat kita tanpa harus melanggar norma-norma globalisasi. Namun lucunya yang terjadi justru sebaliknya. Para birokrat kita malah berlomba-lomba menawarkan penurunan tarif komoditas perdagangannya. Misalnya beras. Menurut aturan WTO sebenarnya masih ada peluang bagi kita melindungi petani dengan proteksi tarif beras sampai 160%. Namun, karena penyelenggaraan pemerintahan yang kolutif di masa lalu, tarif bea masuk beras malah dibuat 0%. Dalam konteks itulah umat Islam hanya menjadi pemain yang kebingungan dan selalu di pinggiran. Lapisan intelektual negara berkembang yang sebagian besar umat Islam, di dalam wacana perdebatan globalisasi ini, bukan hanya pemain pasif tetapi juga sekadar menjadi konsumen wacana. Mereka taken for granted saja, semua dianggap benar dan harus terjadi, tanpa pernah mencoba menyiasati, lebih-lebih menawarkan alternatif. Sesungguhnya kita bisa belajar dari Cina yang dengan cerdas menolak istilah globalisasi melainkan menyebutnya dengan interdependensi. Juga pada Jepang yang gigih melindungi produk pertaniannya, sehingga melahirkan perang dagang dengan AS. Kalau negara-negara Islam berkumpul dalam sidang-sidang OKI (Organisasi Konferensi Islam), maka dominasi pembicaraan pastilah seputar masalah konflik Arab –Israel tanpa mampu bersikat tegas terhadap Israel dan memberikan solusi yang komprehensif untuk Palestina. Kita masih berputar-putar di sekitar masalah politik, yang bukan bersifat high politic. Mereka tidak pernah sampai pada satu abstraksi pemikiran sedemikian rupa, membentuk satu peradaban yang terkait dengan ekonomi, sosial, budaya, namun tidak harus eksklusif dengan bagian dunia yang lain. (bersambung) -------------------------------------------------------------------------------- sumber www.tazkia.com :: detail http://www.tazkia.com/article.php3?sid=354 :: info redaksi@tazkia.com --------------------------------------------------------------------------------